IN-DOCS dibentuk pada tahun 2002 oleh Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI), dengan misi mempromosikan film dokumenter di Indonesia sebagai medium untuk meningkatkan kepekaan sosial masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, In-Docs melayani masyarakat umum dan pembuat film baik itu pemula ataupun profesional. Melalui screenDocs! (pemutaran film & diskusi) dan DocuBox (DVD dokumenter), In-Docs bekeinginan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film dokumenter dan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa ini adalah sebuah bentuk seni dan media yang sangat berpotensi mendorong perubahan sosial. Melalui program edukasi seperti KickStart! (pelatihan film dokumenter) dan Doclinic (klinik dokumenter), In-Docs berusaha meningkatkan keahlian para pekerja film dokumenter Indonesia. Proses ini diharapkan dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat dalam menonton dan menikmati film dokumenter.
Saat ini In-Docs didanai oleh Ford Foundation and Hivos, dan bekerja sama dengan Canopy Indonesia (Pontianak), F2PB (Bandung), Goethe-Institut (Jakarta), Importal (Semarang), Infis (Surabaya), Jalin (Palu), Kine Klub FISIP UNS (Surakarta), Kine Klub UMM (Malang), Kineruku (Bandung), komunitas seni HITAM-PUTIH (Padang), Komunitas Tikar Pandan (Banda Aceh), Langkan Budaya Taratak (Jambi), Movie Maker Community (Kendari), Rumah Ide (Makassar), Rumah Sinema (Yogyakarta), UKM Fotografi USU (Medan).
Pengertian kita akan pahlawan hampir selalu dikaitan dengan mereka yang berjuang di medan peperangan. Mereka yang angkat senjata melawan penjajah di masa kemerdekaan. Apakah pahlawan harus seorang yang berjuang di medan perang? Mungkinkah muncul pahlawan-pahlawan pasca perang kemerdekaan yang tidak harus berperang angkat senjata dalam arti yang sesungguhnya? Kalau begitu apa sebenarnya syarat seseorang bisa disebut pahlawan? Siapakah musuh yang mereka hadapi? Mungkinkah diantara kita saat ini muncul kepahlawanan?
In-Docs mempersembahkan pemutaran film dan diskusi dalam rangka program ScreenDocs Regular:
Suster Apung Andi Arfan Sabran, Suparman Supardi. Indonesia – 2006 -15 min Peraih sinematografi terbaik, film terbaik, dan film favorit pemirsa pada Metro TV Eagle Awards 2006
Hj. Rabiah telah bertugas sebagai perawat selama 28 tahun hingga sekarang di kepulauan Liukang Tangaya di selatan Pulau Sulawesi, dekat perairan laut Flores. Ia harus menembus ganasnya gelombang laut dan melawan batas kewenangannya sebagai perawat, serta tidak menyerah oleh keterbatasan fasilitas yang ada di tempat-tempat terpencil tersebut
Kepala Sekolahku Pemulung Justis Arimba-Victor Doloksaribu Indonesia-2007-15 menit Peraih Film Terbaik Metro TV Eagle Awards 2007
DKI Jakarta memiliki dana APBD terbesar di Indonesia, dan menganggarkan 20% dari dana tersebut untuk sektor pendidikan. Lantas, mengapa Pak Mahmud, sebagai kepala sebuah Madrasah setingkat SMP di Jakarta, menyambi sebagai pemulung? Keputusannya memunculkan sikap pro dan kontra yang ‘hangat’ dari rekan guru, murid- murid, dan masyarakat di sekitar Madrasah. Bagaimana dedikasi Pak Mahmud sebagai guru, di tengah tekanan dari lingkungan sambil berjuang untuk menghidupi keluarganya?
Helper Hongkong Ngampus Ani Ema Susanti, Yunni Dhevie Hapsari- ndonesia-2007-15 min
Subi dan Acik adalah TKW yang berpenghasilan cukup baik selama mereka bekerja di luar negeri. Subi memilih untuk membeli rumah, sawah, dan sepeda motor dari gajinya, disamping untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Sekembalinya Subi di Indonesia, ia menikah dan memiliki anak. Sejak saat itu harta bendanya mulai dijual untuk menanggung biaya hidup keluarganya. Sedangkan Acik memanfaatkan kelebihan uang yang ia dapat dengan membiayai dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saat ini Acik bekerja menjadi guru di sebuah sekolah dasar
Prahara Tsunami Bertabur Bakau Emanuel Tome Hayon, Mikhael Yosviranto Indonesia-2008-15 min Film Terbaik Metro TV Eagle Awards 2008
Bencana seringkali meninggalkan kesedihan dan trauma bagi setiap orang yang mengalaminya. Bagi seorang Baba Akong dan istrinya, bencana adalah sebuah kebangkitan bagi kecintaan pada lingkungan. Kemiskinan dan kesederhanaan tidak menghalangi niat mereka untuk menghijaukan lingkungan sekitar. Selama 16 tahun setelah tsunami 1992 di Flores, NTT, mereka berhasil menghijaukan pesisir pantai Ndete seluas 23 hektar. Bukan saja itu, Baba Akong juga meregenerasi kelompok usahanya menjadi 41 kelompok dan beranggotak 2000 orang.
Pemutaran film tersebut akan dilanjutkan dengan diskusi: “Pahlawan di masa pasca perang, Siapakah Mereka?”
Datang dan saksikan di:
MEDAN Senin, 24 November 2008 Lapangan Parkir Radio KISS Jl. Cut Nyak Dien No 16, Medan . Jam 19.00 s. d selesai Pembicara: Panut Hadisiswoyo (Aktivis Lembaga Orang Utan Center, Medan) Kontak: Willy (UKM Fotografi USU) 085760049068
PADANG Rabu, 26 November 2008 Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat, Padang Jam: 10.00 s. d selesai Pembicara: Faddillah, s. s, M. Si ( Dosen Sejarah Universitas Andalas padang) Kontak: Masvil Tomi (komunitas seni Hitam-Putih) 081374314609
JAMBI Jumat, 28 November 2008 Jam 19.30 s. d selesai Balai Taratak Langkan Budaya Taratak, Jl. Kemas A. Rivai No. 64, Handil Jaya. Jam: 19.30 s. d selesai Pembicara: Budi Setiawan (Aktivis LSM Lingkungan dan Pemerhati Masalah Sosial, Dosen Universitas Jambi) A. Shomad ( Ketua Dewan Pendidikan Kota Jambi, Aktivis Masalah Lingkungan dan Sosial) Kontak: Naswan (Langkan Budaya Taratak) 0741 443604
BANDUNG Jumat, 28 November 2008 Jam: 19.00 s. d selesai Kineruku, Jalan, Hegarmanah No 52 Bandung Pembicara: Zulkaida ( Aktivis Mahasiswa) Kontak: Anie (Liga Film Mahasiswa ITB) 08121347292
Pada Pentas Seni II Tahun 2002 yang diselenggarakan Dewan Kesenian Sumatra Barat, Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand hadir dengan pertunjukan berjudul “Jenjang”, karya dan sutradara Prel T.
Saat itu, Prel T mengatakan, “Jenjang” digarap dengan konsep eksperimen yang difokuskan adalah teknik estetis pertunjukan. Seluruh pengadegan didominasi oleh konsep fungsional. Pembentukan set di samping bersifat statis, juga dinamis. Maka dengan sendirinya set dibentuk melalui pembentukan adegan. Sentral performanceadalah ruang (bukan bidang). Seluruhnya memanfaatkan sejumlah jenjang (dalam berbagai ukuran) sebagai properti utama.
Pertunjukan Teater Eksperimental KPDTI itu telah lewat 5 tahun lalu. Saat itu, saya mencatat, pertunjukan “Jenjang” berhasil dalam konsep eksperimental, tapi gagap dalam penyampaian isi dan pemeranan. Sehingga yang terlihat di atas panggung adalah seperti seorang khatib menyampaikan kutbahnya. Idealnya sebuah pertunjukan teater, tentu, keduanya—konsep garapan dan pemeranan—sebuah yang inheren dan terintegrasi. Keduanya mesti sama-sama diperjuangkan.
Pekan terakhir Juli lalu, 21 Juli dan 27 Juli 2007 di Kota Padang Panjang dan Padang, publik teater disuguhkan dengan pertunjukan teater yang juga eksperimentatif dalam garapannya, yakni pertunjukan teater berjudul “Tangga” yang dipentaskan oleh Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang, sutradara Yusril.
Dari informasi yang diperoleh, “Tangga” bersumber dari dua karya dari penulis yang berbeda, yaitu puisi “Tangga” karya penyair Iyut Fitra dan naskah drama “Jenjang” karya Prel T. Inti dari cerita seputar sistem kekuasaan di Minangkabau yang bersumber dari ideologi Datuk Katumanggungan (Koto Piliang) yang lebih cenderung feodalistik dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang (Bodi Caniago) yang mengarah demokratis dan egaliter. Kedua ideologi itu tidak dimaknai dikotomis oleh masyarakat Minangkabau, tapi lebih pada tataran sinergitas.
Pementasan “Tangga” mengesankan kehendak untuk menyampaikan hal demikian. Maka, muncullah kalimat-kalimat yang keluar dari mulut tokoh-tokoh di atas pentas, seperti bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), duduak sahamparan, tagak sapamatang (duduk sehamparan dan berdiri sepematang), indak kayu janjang dikapiang (tiada kayu jenjang dikeping) lah jatuah diimpik janjang(sudah jatuh tertimpa tangga), dan lain sebagainya yang merupakan idiom-idiom sosial yang sangat akrab dengan masyarakat Minangkabau.
Malam itu “Tangga” dibangun menjadi situs atau lokasi dalam sebuah ruang yang dikonstruksi secara sosial dengan simbolisasi yang relevansinya kadang lepas. Tokoh-tokoh yang niridentitas diberi beban yang cukup rumit dan rijit untuk memanifestasikan makna-makna simbolik dalam sebuah ruang yang sarat dengan kehendak, keinginan, dan juga ambisi, yang akhirnya semua tak terkendali dan tak fokus. Pementasan “Tangga”, malam itu, 27 Juli 2007 di Taman Budaya Sumatra Barat, seperti kehilangan konsentrasinya dan melupakan basis yang sebenarnya telah jadi kekuatan Komunitas Hitam-Putih selama ini, yakni eksploratif dan semiotif visual. Dan saya membandingkan ini dengan pertunjukan sebelumnya, yaitu “Menunggu” dan “Pintu”, sekadar menyebut contoh saja.
Praktik-praktik pemaknaan atau aktivitas penciptaan makna yang selama ini demikian kaya hadir dalam setiap garapan Komunitas Seni Hitam-Putih, seolah tak saya jumpai lagi di “Tangga”. “Tangga” seperti sebuah antiklimaks perjalanan teater kelompok ini. Dalam catatan saya, dan ini bisa diperdebatkan kembali, bahwa Komunitas Seni Hitam-Putih terasa kurang pas bermain dalam tema-tema yang terkait dengan tradisi kultur Minangkabau, dan mereka sepertinya mesti belajar lebih banyak terkait dengan Minangkabau.
Namun demikian, selama ini, sesungguhnya, kelompok ini telah menemukan bentuknya dalam ranah eksploratif dengan tema kontemporer yang universal, dan isu-isu posmodern. Dan gaya ini sesungguhnya telah terbangun sejak berdirinya kelompok ini tahun 1996.
Sepanjang hampir satu jam pertunjukan “Tangga” dengan penjejalan tubuh-tubuh aktor, yang katanya fungsional sebagai properti pentas dan fungsionalisasi propereti tangga (yang jumlah sama banyak dengan aktor, yaitu 8 (delapan), tentu memberi warna lain dalam perkembangan teater di Sumatra Barat. Paling tidak, konsepsi garapan dan bentuk pemanggungan, bagi saya memang berbeda dengan kelompok-kelompok teater lainnya. Kekuatan estetik dengan konsepsi yang membuka kemungkinan-kemungkinan tafsir di atas pentas, adalah kelebihan “Tangga”, tapi—seperti disebut sebelumnya—gagap dalam pemeranan.
Delapan buah tangga yang diusung masing-masing pemain, seperti videp klip yang menghadirkan penggalan-penggalan peristiwa: tangga kadang dikonstruksi sebagai alat untuk meraih kekuasaan, bangunan penjara kekuasaan, alat penindas bagi penguasa, menara kekuasaan, pembatas kekuasaan, jembatan untuk berkuasa, beban kekuasaan, keranda mayat akibat kekuasaan, dan sebagainya.
Dengan mengenakan busana merah, depalan orang dan delapan jenjang, yang sukar diidentifikasi emosionalnya karena mamang ke delapan orang yang ada di pentas itu niridentitas: Mereka tak punya titik simpul dalam tataran sosial. Maka, hal itu tak mungkin dilakukan. Mengurai identitas delapan tokoh-tokoh itu sama saja dengan mereduksi dalam struktur sosial yang stabil. Mereka bukan berada dalam regularitas sosial dengan memakai pola-pola sosial yang mapan. Mereka adalah representasi sosial yang cenderung resistensif terhadap tatanan yang sosial.
Maka, semua dialog yang muncul di atas pentas, seperti sebuah bunyi-bunyian. Bunyi-bunyian yang dimanifestasikan dalam beragam gerak dan konstruksi simbol-simbol. Simbol yang dibangun pun kadang bertolak belakang dengan ucapan tokoh. Kata-kata hanya merupakan teriakan di tengah galaunya sistem sosial dan kekuasaan.
Sehingga, content yang susungguhnya tak perlu lagi secara verbal disampaikan aktor, menjadi kehilangan maknanya. Ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari mulut aktor, menjadi artifisial. Kadang, dialog atau kalimat yang melompat itu, kontradiktif dengan bangunan “peristiwa” teater yang sedang berlangsung di atas pentas. Dalam tradisi Minangkabau, pepatah bajanjang naik batanggo tidak dimaknai secara verbal dan artifisial dengan melakukan gerak turun naik tangga, tetapi lebih kepada mekanisme dan regulasi dalam mengambil keputusan yang bijaksana. Di “Tangga” aktor melakukan gerak turun naik tangga dengan sangat verbalistik.
Gerak, yang tampaknya banyak dikolaborasikan dengan koreografi, terlihat tak mampu mempertegas maknawi teks yang sastrawai itu. Tokoh-tokoh, karena demikian banyak beban “Tangga” yang ingin disampaikan, tampak lelah. Penggunaan bahasa dalam rentang satu jam itu, mengesankan seperti bukan berasal dari hubungan antarkata yang kompleks, dan bukan berangkat dari karakteristik tokoh-tokoh yang hakiki. Makna kata dan kalimat dialog tokoh-tokoh tidak menemukan relasional dan kontekstualnya. Ada yang lepas antara simbol yang dikontruksi dengan ucapan tokoh.
Maka, beberapa aspek yang sangat perlu didiskusikan lebih lanjut adalah persoalan aktor dan pemahaman naskah itu sendiri. Proses teater bukan semata menuju pada bentuk pertunjukan, tapi, teater juga terkait dengan sejauh mana pemahaman aktor dan juga elemen lain (musik, pencahayaan, dan juga penasihat spiritual Komunitas Seni Hitam-Putih) terhadap tema-tema yang digarap.
Pada “Tangga” saya menjumpai bagaimana aktor kurang demikian akrab dengan apa yang disebut dengan simbol-simbol dan kalimat-kalimat penuh filosofi yang dijadikan basis garapan Komunitas Seni Hitam Putih. Dan kasus serupa juga terjadi saat Teater Eksperimental KPDTI Fakultas Sastra Unand mementaskan “Jenjang”, kendati untuk menghadirkan simbolisasi, memang lebih kaya Yusril.
Tapi, sisi yang menarik adalah pemanfaatan dan eksplorasi panggung yang dilakukan Yusril cukup inovatif: Pentas bisa saja hadir di dinding panggung dan samping panggung. Apa yang dikatakan dengan “meruang” tampak menemukan realitasnya. Gaya demikian tentu dimaknai sebagai suatu praktik pemaknaan yang melibatkan objek-objek (tangga dan ruang pentas) dalam kaitannya untuk membangun semiotika visual sebagai tanda kultural.
Selain itu pula, satu hal yang juga menarik, saya melihat pertunjukan ini sukses dari sisi penonton, lebih kurang 200-an penonton memenuhi Teater Utama Taman Budaya Sumatra Barat, malam itu. Tapi, saya juga bertanya-tanya, apakah penonton nyaman menikmati pertunjukan itu? Semoga saja. ***
kawanan orang-orang bergerombolan itu bertemu pendakian, kita, setumpak pencarian gaduh dalam zikir. tasbih air mata menuju langit, puncak dari waktu
terjemahkanlah, wahai, beku batu-batu. siapa memancang istana di udara jauh memancang singgasana di tinggi labirin
dan kawanan orang-orang bergerombolan, kita, saling sikut berebut tempat
mencari arah matahari. atau di mana bulan jatuh
“sorga” kau dengar sayat itu?
gelombang nada membakar tanah-tanah. meluap darah
di padang-padang hampar. kitalah para penunggang berpedang
menebas jalan-jalan
menebas harapan
di timur matahari akan terbit
di timur matahari akan terbit
Sepenggal petikan puisi Tangga di atas, yang ditulis oleh Iyut Fitra, penyair yang berdomisili di kota Payakumbuh, Sumatra Barat ini, menjadi teks-teks dialog para pemain dalam pertunjukan teater karya Yusril “Katil”. Karya Dengan judul yang sama, Tangga, ini merupakan karya kolaboratif yang melibat seniman teater, tari, dan musik dari STSI Padangpanjang serta penyair Sumatra Barat. Gagasan karya terispirasi dari percaturan kekuasaan dengan bingkai “demokrasi” ala Minangkabau ditafsir dengan situasi kekinian yang lebih universal. Akting dan gerakan para pemain merupakan kombinasi eksplorasi gerak (tarian) yang ditata oleh Syaiful Erman (STSI) dengan tata laku yang diarahkan langsung oleh Katil sebagai sutradara, sedangkan ilustrasi musik dikomandani oleh Elizar Koto (STSI).
Ini merupakan karya teater eksploratif, yang sangat sarat dengan simbol, tetapi minim kata-kata, mengusung sembilan buah tangga sebagai propertinya. Karya yang melibatkan sembilan pemain yang terdiri dari tiga orang penari dan enam orang pemain teater, telah dipentaskan di gedung pertunjukan Hoerijah Adam STSI Padangpanjang, 13/11/2007. Dan juga dipentaskan pada Festival Kesenian Indonesia (FKI) V di ISI Denpasar pada 21-25 November 2007.
Eksplorasi Tangga
Paling tidak ada delapan konfigurasi-formasi atau “adegan” yang disajikan dalam karya ini. Formasi awal ditandai dengan pemunculan penari laki-laki (Cecep) dengan kostum Minang (ala datuk) menari dengan gerak-gerak eksloratif berbasis silat, sambil memikul tangga sepanjang tiga setengah meter di sisi kiri depan pentas. Ia kemudian memindahkan tangga itu ke punggungnya sambil membungkuk. Sementara di bagian tengah depan pentas, Sarah (Ayu Shahira, mahasiswa STSI asal Kuala Lumpur) dengan kostum merah menyala, melakukan gerak-gerak eksplorasi dengan ruang gerak yang cenderung lebar. Ketika melihat Cecep membaringkan tangga di punggungnya, Sarah berlari dan naik sembari berbaring menelentang di atas tangga itu. Di bawah cahaya lampu yang redup dan musik yang lirih, Cecep terhuyung-huyung melakukan berbagai gerakan dan diakhiri dengan gerakan berputar-putar. Tak sepatah kata pun dialog yang muncul dari mereka. Bagian ini semacam satire bagi perempuan Minangkabau yang dimuliakan, tapi berkuasa seperti wanita besi.
Selanjutnya sembilan tangga disandarkan berjejer di dinding pentas bagian belakang. Diperkuat dengan latar visual art, semua pemain dengan kostum merah, berdiri di puncak tangga, kemudian perlahan-lahan mereka menuruni anak tangga. Beberapa penggal kata mereka ucapkan dengan minim. Kemudian mereka menapaki setiap anak tangga untuk turun dan naik serta berpindah dari satu tangga ke tangga yang lain dengan intensitas kian lama makin cepat. Perebutan tempat ini, memunculkan benturan kepentingan, bahkan juga fisik–saling menyikut. Agaknya dialog lebih terekspresikan melalui simbol movement mereka, ketimbang bahasa verbal. Perjuangan mencari tangga (kendaraan) menuju tangga kekuasaan, mesti dilakukan dengan berbagai cara.
Bagian yang cukup menarik dicatat agaknya konfigurasi-formasi tiga dan empat. Katil mencoba menonjolkan perempuan di atas “singgasana kekuasaan.” Eksplorasi enam buah tangga yang ditegakkan dengan membentuk formasi tiga buah segi tiga sama kaki berjejer diagonal ke kiri pentas. Masing-masing tangga dipegang oleh seorang pemain. Sementara pemain (Indah) menaiki tangga, mulai dari tangga belakang sampai ke tangga depan. Di puncak tangga ia berdiri mengepakkan tangan dan melakukan gerak-gerak ekplorasi sambil mengucapkan teks-teks singkat.
Dengan formasi tangga yang dibentuk seperti menara, seorang penari (Rani) menaiki tangga dan berdiri di puncaknya. Gerak-geraknya cukup berani dan menantang (bahaya). Kemudian ia meluncur turun masuk dalam “perangkap” menara. Tangga direbahkan, ia teperangkap dan terikat dalam tangga. Tak ada sepatah kata pun yang terucap.
Lewat kedua tokoh perempuan itu, agaknya Katil menyindir demokrasi ala Minangkabau dan sistem kekerabatan matrilineal yang memuliakan dan menonjolkan perempuan. Dalam konteks kekinian dan dikaitkan dengan sistem laras bodi caniago (Ketumanggungan) yang memakai keputusan berdasarkan musyawarah di tingkat bawah, dan koto piliang (Perpatih Nan Sabatang) yang menerapkan keputusan berada di tinggkat pimpinan), sudah tidak dianut lagi secara tegas terpisah oleh masyarakat Minangkabau.
Yang tak kalah menarik adalah eksplorasi yang dilakukan oleh seluruh pemain dengan mengusung tangga menjelajahi setiap lini pentas. Mereka berlari mencari ruang kosong dan mengisinya silih berganti. Tampak ketegangan dan kesembrautan berpadu dengan ekspresi menyeringai di wajah mereka. Eksplorasi ini dilanjutkan dengan menghentakkan tangga ke lantai sambil membentuk lingkaran. Seolah-olah mereka terkerangkeng dalam jeruji medium mencari kekuasaan. Lalu mereka menjatuhkan tangga masing-masing ke lantai. Tampak bagaikan kelopak-kelopak bunga berguguran.
Tergerusnya Budaya
Sebagai penutup, eksplorasi tangga seperti membentuk replika rumah gadang. Dengan latar belakang visual art yang digarap oleh Dede Pramayoza, para pemain duduk dan berdiri di atas dan di bawah rumah gadang. Sarah menuruni tangga dengan eksplorasi-eksplorasi gerak yang dipadu dengan beberapa gerak tari piring tradisi Minang. Ia bergerak ke depan di atas dua buah tangga yang direbahkan memanjang ke arah depan. Sementara di tengah tangga itu terletak sebuah carano sebagai simbol ketulusan hati dan pendamai dalam berbagai kegiatan adat di Minangkabau. Carano yang biasanya diisi dengan daun sirih dan buah pinang, kali ini diganti dengan ratusan permen, diangkat oleh Sarah dan dibagi-bagikannya kepada para penonton. Ini benar-benar sebuah simbol tergerusnya budaya oleh berbagai kepentingan (terutama politik).
Karya yang berdurasi sekitar 55 menit ini, sejatinya memiliki etika konvensional. Seperti ungkapan “bajanjang naiak batanggo turun”. Segala sesuatunya sudah ada aturan dan tata caranya. Akan tetapi benturan muncul ketika situasi kekinian tidak lagi tertampung dalam koridor adat. Bagaimanapun Katil dan kawan-kawan telah menyajikan sebuah penawaran sajian teater kolaborasi yang berimbang (Gong, edisi 96/2007).
(Untuk mempresentasikan itu, Katil lebih memilih bahasa simbolik melalui eksplorasi gerak, musik, dan tangga yang bersifat multi tafsir serta memberikan makna lebih luas, ketimbang bahasa verbal. Meskipun ia sebenarnya sudah berupaya menghadirkan penggalan kata atau kalimat. Tetapi itupun masih perlu ditafsir karena teks verbal yang muncul berasal dari puisi. Akhirnya teks dialog sering diabaikan oleh penonton. Katil bahkan sengaja memilah peran pemain. Kepada para penari misalnya, sedapat mungkin mereka tidak diberi kesempatan berkata-kata. Sebagai sebuah pertunjukan, Katil dan kawan-kawan telah menyajikan sebuah penawaran sajian teater kolaborasi yang telah berimbang).
Padangpanjang, 19 November 2007
Asril Muchtar
Staf Pengajar STSI Padangpanjang, pemerhati seni pertunjukan
Apakah Sekolah Membunuh Intuisi Kita ?
-
Oleh : *Bambang Haryanto*
*Mobil patroli polisi menanti lampu hijau menyala*. Opsir tua menyopir.
Mitranya, yang muda,mengamati mobil BMW baru yang ada di ...
– PEMENTASAN “TANGIS” TEATER GANDRIK
-
TEATER GANDRIK, akan manggung mementaskan lakon Tangis, pada 11-12
Februari 2015 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kemudian dilanjutkan
dengan pem...
PEMENTASAN 'TANGGA' SUTRADARA YUSRIL KATHIEL
-
SAKSIKAN! Teater dengan judul 'TANGGA' sutradara Yusril, produksi komunitas
seni HITAM-PUTIH Padangpanjang-Sumatera Barat sebagai salah satu peserta
pertun...
SALAM RINDU
-
SAUDARA/SAUDARI ANGGOTA RUMAH TEDUH YANG BUDIMAN, APAKAH SAUDARA/SAUDARI
SEKALIAN TAU NOMOR TELFON FAIZ MOHAMMAD ATAU FATRIS MOHAMMAD. KALAU ADA
YANG TAU ...
Festival Film Indie Tingkat Nasional 2013
-
Persyaratan Umum: 1. Kompetisi dibagi menjadi dua (2) kategori: Pelajar
(SMP/SMA/SMK) dan Masyarakat Umum/ Mahasiswa. 2. Pendaftar adalah Warga
Negara Indo...
Valentine
-
Ami heboh membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink.
Setidak-tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna
itu me...
Profil Anggota Bengkel Mime Theatre
-
*ANDY SRI WAHYUDI*
Lahir di Yogyakarta, 13 Desember 1980. Sebagai penulis teks naskah dan
aktor di Bengkel Mime Theatre sejak tahun 2004. Mulai bulan Sep...
Dua Drama Teror
-
Dua pertunjukan drama yang kusaksikan pada Rabu (28/10) malam sungguh
merupakan teror buatku. Secara pemanggungan, keduanya sama-sam...
pentas di rumentang
-
19 mei 2009, pementasan kedua DI BAWAH LAPISAN ES di GK Rumentang Siang.
Pementasan berlangsung selama 2 kali (pukul 14.00 dan 19.30 wib). Pentas
malam har...
Unduhan Naskah Monolog
-
AENG Aksioma Alibi Anak Kabut Bangsat Boneka Sang Pertapa Bubuy Bulan Bunga
Diatas Awan Demokrasi Hati Yg Meracau Ibu Kita Raminten Kasir Kita Koruptor
Yg ...
Dinasti dan Muasal Teater Pembebasan di Indonesia
-
~dimuat di milis Ngobrolin Teater, 11 juli 2006 bersumber KR Minggu 28 Mei
2006~
Oleh : Hasta Indriyana
Salah satu anggota Teater Dinasti adalah Joko Kam...
Dilema Wahyu dan Realitas Kebenaran
-
Sabtu, 17 Mei 2008, akhir pekan yang diselimuti cahaya matahari menyengat.
Dalam situasi seperti ini pentas hari I, AiR Sepekan Monolog digelar.
Naskah “Ma...
-
Tidak berbeda sedikit pun juga
senja kemarin dengan senja hari ini.
Musim kemarau telah datang pada hari senja dan mendirikan tempat tinggalnya
diambang pin...