FESTIVAL MONOLOG KENTHOET ROEJITO

Minggu, 03 Februari 2013


Komunitas Tanggul Budaya (KTB) merupakan sebuah komunitas yang bersusah sungguh menahan arus deras kebudayaan dengan metode, cara dan kerangka berpikir ala (KTB) sendiri. Berbagai persoalan kebudayaan menjadi bahan pemikiran dan obrolan yang coba kami angkat ke dalam diskusi-diskusi di malammalam sunyi kami.
Sebuah kata “monolog” coba kami bidik dalam nada dasar diskusi di suatu malam. Berbagai pertanyaan muncul, antara lain: kenapa tidak muncul actor maupun aktris muda yang mempunyai kapasitas aktor/aktris menasional di negeri ini? Siapakah aktor/aktris itu? Apakah perlu Komunitas Tanggul Budaya (KTB) menjadi wadah memunculkan aktor/aktris itu? Apakah perlu (KTB) menjadi jembatan ajang silaturahmi antarteater se-Nusantara? Berbagai hal yang bermacam ragam muncul dalam diskusi malam itu, persoalan yang barangkali menjadi pikiran dan persoalan dari kantong-kantong kesenian Anda pula?
 Kenapa harus monolog? Yha, persoalan itu kami jawab secara singkat seperti ini, kami beranggapan bahwa monolog menjadi pilihan paling efektif dari laku peristiwa teatrikal, baik secara kuantitas maupun kekuatan aktor/aktris dalam pertunjukan pementasannya. Dari berbagai persoalan itulah, kami mencoba memberi ruang dan wadah silaturahmi bagi para praktisi monolog maupun kelompok teater se-Nusantara untuk mementaskan naskah-naskah lakon monolognya di tempat kami. Dan menyambungkan berbagai simpul jejaring komunitas teater se- Nusantara dan menjawab berbagai pertanyaan tentang kegelisahan even yang tidak hanya sebagai ajang proyek tetapi menjadi persinggungan ide lintas generasi.
Kemunculan niatan ini akan membuat ruang pertemuan antarkelompok teater di tiap-tiap daerah. Akhirnya ketika konsep ini kami tawarkan kepada para seniman teater, Butet Kertarajasa menyambut baik, sekaligus memberikan subsidi bagi terlaksananya even ini. Beberapa seniman yang akan terlibat dengan peristiwa monolog ini, antara lain sebagai berikut.
  • Ki Slamet Gundono (Dalang wayang suket dari Surakarta) sebagai Juri.
  • Wahyu Cunong (Kelompok tari Sahita dari Surakarta) sebagai Juri.
  • Yusril Katil (Teater Hitam Putih, Padang Panjang) sebagai Juri.
  • Yanusa (Teater Tetas, Jakarta) sebagai komentator.
  • Shinta Febriany (Teater KALA, Makasar) sebagai komentator.
  • Dody Yan Masfa (Teater Tobong, Surabaya) sebagai komentator.
  • Abuy Asmarandana (Yogyakarta) sebagai komentator.
  • Irwan Jamal (Teater Pictorial, Bandung) sebagai komentator dan penutup acara
  • Toni Broer (Bandung) sebagai pemberi workshop.
  • Helmi Prasetyo (Teater Ruang Surakarta) pemberi workshop.
  • Joko Bibit Santosa (Teater Ruang, Surakarta) tokoh di balik layar
  • Butet Kertarajasa (Seniman, Yogyakarta) sebagai pemberi infak budaya dan inspektur Upacara Bendera ala teater dalam pada pembukaan workshop Fesmon Kenthoet Roejito.
  • Seniman-seniman teater muda se-Nusantara.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Menjemput Impian bagi Sang Sutradara



Selama tiga hari berturut-turut, pada tanggal 3-5 Agustus 2012 lalu, drama musikal Menjemput Impian sukses dipentaskan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Mengusung konsep perpaduan seni peran, seni tari, dan stop motion, drama yang mengisahkan asimilasi budaya Tionghoa dan Indonesia ini mendapatkan respon positif dari masyarakat. Ribuan tiket terjual habis seiring dengan wajah-wajah penonton yang puas terhibur seusai menyaksikan pementasan.

Adalah Yusril, S.S, M.Sn, seorang seniman dari Tanah Minang yang merupakan sutradara dari drama musikal tersebut. Keterlibatannya dalam Menjemput Impian berawal dari pertemuannya dengan Silvia Ong, seorang pelatih tari lulusan Program Master Penciptaan Seni Tari Institut Seni Surakarta, pada sebuah festival seni di Bali. Silvia Ong yang juga bertindak sebagai koreografer Menjemput Impian, saat itu melempar wacana mengenai keprihatinannya tentang akar budaya Tionghoa yang mulai terlupakan oleh generasi muda. Ternyata hal tersebut menarik minat Yusril.

“Saya sudah lama tertarik dengan kesenian Cina. Dan ceritanya menarik sekali. Bagi saya naskah ceritanya mirip dengan background saya, Minangkabau, dimana masyarakatnya merantau dan berjuang untuk meraih kesuksesan di tanah rantau,” ungkap Yusril.

Menjemput Impian adalah pementasan drama bergaya realis pertama Yusril. Sebelumnya, karya-karya Yusril bersifat eksperimental seperti Tangga (2008), Aksioma (2005), dan Indonesia Darahku Tumpah (2004). Mengenai hal tersebut, Yusril berujar, “Saya penasaran dengan pertunjukan musikal yang berpihak pada penonton, setelah karya-karya saya sebelumnya bisa dikatakan merupakan pertunjukan yang tidak berpihak pada penonton.”

Yusril yang berdomisili di Sumatera Barat dan seorang Pembantu Dekan 1 jurusan Teater Institut Seni Padangpanjang ini tidak berkeberatan bolak-balik ke Jakarta selama mempersiapkan pertunjukan Menjemput Impian. Baginya, kesuksesan drama realis musikal pertamanya ini merupakan salah satu pencapaian pribadi yang ingin diraihnya.

“Saya ingin tahu mengapa drama musikal semacam ini seringkali sukses di kota besar. Saya merasa tertantang. Melalui Menjemput Impian, kesimpulan saya adalah ternyata masyarakat kota besar sebenarnya butuh hiburan alternatif yang memang menghibur, setelah kesehariannya hanya dihibur dengan TV, dan lain-lain,” jelas Yusril.

Drama musikal Menjemput Impian yang berdurasi 2,5 jam ini dimainkan oleh para penari yang belum berpengalaman samasekali dalam dunia teater. Sejak di awal persiapan, hal tersebut bukan menjadi masalah bagi Yusril. “Semua orang bisa bermain drama realis. Saya percaya itu. Tidak ada kendala berarti mengenai kemampuan seni peran mereka. Saya malah merasa tertantang dan senang, bahwa ada orang-orang yang tidak hidup di dunia kesenian, namun tertarik dan berani untuk berkesenian,” tutup pria gondrong yang ramah tersebut. (Rike)

Sumber Internet: http://tourismnews.co.id/category/art-culture/menjemput-impian-bagi-sang-sutradara


Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

Foklore, Isu Korupsi Dan Penonton Kelas Menengah

Ekspresi Foklore selalu mengikuti arus zaman. “Indonesia Kita” menggubah legenda Malin Kundang asal Minangkabau menjadi Maling Kondangsetia pada Ibu tapi memanipulasi rakyat. Persis seperti pertunjukan Indonesia Kita dalam tema dua tahun terakhir.

Pertunjukan Indonesia Kita kali ini lebih terasa “lain” setelah merunut program Indonesia Kita yang telah memasuki penyelenggaraan tahun kedua. Isu korupsi selalu menjadi tema besar, dalam setiap penyelenggaraan pertunjukan yang didapuk Trio kakak adik: Butet Kartaredjasa, Agus Noor dan Djaduk Ferianto. Sejauh ini, selain Teater Koma yang juga mempunyai kekerabatan yang lekat dalam komunal kekeluargaan untuk memanajemen pertunjukan dan cenderung sukses dengan tolak ukur riuhnya penonton dan respon sponsor yang besar.
Masyarakat kelas menengah penonton Jakarta–dilihat dari tingkat profesi, pendidikan dan menyukai pertunjukan Indonesia karena kemasan pertunjukan ini memenuhi manajemen yang profesional dengan elemen menyajikan: 

Pertama, penampil yang notabene selebritis untuk menarik massa penonton, dikombain dengan pekerja teater idealis yang cukup mengetahui “kemapanan estetika panggung”. Antara rasa entertain dan pakem-pakem panggung cukup melebur.

Kedua: Isu kekinian yang sedang up-to-date, terutama menyoal political nationality yang sedang menjadi obrolan hangat dan menjadi headline di media. Selain itu, di Jakarta, beberapa seniman dan acara, menjadi besar karena “penggorengan media”. Ada yang memang layak karena menampilkan gagasan baru dan menarik.

Ketiga: Indonesia Kita perlu diakui memiliki tim produksi yang mampu menarik sponsor besar. Bersedia untuk membiayai, baik dari perusahaan swasta maupun birokrasi pemerintah.

Keempat, Indonesia kita cukup mampu mengkombain tradisi-foklore, legenda,mitos dan tokoh fiksi yang dikenal pada sebagian besar masyarakat seperti Kabayan dikemas dengan bentuk modern. Baik yang berbentuk broadway pada Putri Embun dan Pangeran Bintang dari Kelompok Teater Garasi, maupun pertunjukan yang baru-baru saja dipertunjukan “Maling Kondang” sutradara Yusril yang dikenal sebagai sutradara Komunitas Seni-Hitam Putih dari Padang Panjang, Sumatera Barat.Penonton

Kelas Menengah

Hampir seluruh pertunjukan dalam Karya hasil Indonesia Kita memang menjadi daya tarik yang ditunggu penonton kelas menengah Jakarta. Diantara mobilitas sehari-hari di Jakarta yang membuat manusia menjadi mekanis dengan pekerjaan dan kesibukan. Masyarakat Jakarta membutuhkan panggung yang menghibur. Sesuai dengan tagline “Memandang Indonesia Secara Jenaka”. Indonesia Kita menampilkan sisi elegan yang kocak dengan bumbu tradisi berbalut nasionalisme.

Empat parameter untuk menakar pertunjukan-pertunjukan Indonesia Kita di atas, memang tak sepenuhnya relevan. Teater sebagai seni pertunjukan dipandang sebagai unsur yang kompleks dan berubah sesuai dengan ruang dan waktu, termasuk pada kalangan penonton. Pengamat seni pertunjukan, Seno Joko Suyono, dalam tulisannya tentang “Bedaya Silikon” mengungkapkan, meriahnya respon penonton bukan parameter untuk menakar kualitas pertunjukan malam itu. Sebab sering penonton GBB (Graha Bhakti Budaya) lebih bereaksi spontan terhadap hal-hal komunikatif yang langsung bisa tertangkap. Tepuk tangan tidak menjadi idealisisasi untuk menakar kualitas petunjukan.Di perkotaan, khususnya Jakarta, menururt Sri, penonton akan berdoyong-doyong menonton jika ada strategi khusus yang dilakukan kelompok atau lembaga teater tersebut dari reputasi aktor dan teaternya yang dikenal berkualitas.  Pertunjukan “Maling Kondang” menampilkan Nirina Zubir, Oppie Andaresta, politikus Effendi Gozali dan beberapa sosok entertain yang cukup dikenal publik. Hari pertama dan kedua petunjukan, cukup memenuhi Graha Bhakti Budaya yang memiliki kapasitas penonton ratusan. Indonesia Kita memiliki manajemen strategi panggung yang nyaris ideal untuk menarik kebutuhan menonton Teater.

Transformasi Foklore Ke Panggung Modern

Malin Kundang termasuk pada Foklore jenis legenda setempat yang turun antar generasi dan dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Minangkabau yang menarik garis matrineal dari pihak Ibu mungkin cukup berpotensi besar untuk mengingatkan generasi muda selankutnya dalam sikap dan budi pekerti pada Ibu.

Tim kreatif Indonesia Kita mengambil esensinya, jika seorang pemimpin punya kesalahan, sebagai orang yang berkuasa, maka kesalahan orang yang berkuasa ini akan mencelakakan semuanya. Inilah yang relevan di negeri ini, kisah malin kundang berkembang, dihubungkan dengan situasi saat ini.

Sebagai pertunjukan tragedi satir dengan berusaha mengungkapkan bagaimana bila di situasi2, konteks seperti sekarang dilakukan oleh orang-orang yang besar-pengusaha besar, partai besar. Maling Kondang memberikan kesan, bila yang kita teladani (pemimpin) justru yang membawa masalah.

Masyarakat Minang memiliki tradisi yang kuat tercermin pada kesenian randai, selain tari piring yang juga tampil di Maling Kondang. Dalam randai ada 4 unsur yang tidak boleh hilang: pertama gurindam, kedua legaran atau gerak/koreografi, ketiga pantun dan keempat dendang.

Sesuai dengan ciri khas orang Minang dalam berpantun, patatah-patitih, teka-teki dan berdendang lagu tradisi. Pertunjukan malam itu cukup memberikan ingatan dan humor yang segar setelah penonton meninggalkan kursi.

Indonesia Kita dan Maling Kondang memplesetkan sebuah legenda yang bertolak dari kesadaran anggapan lama. Jahitan adegan dan proses yang sebentar mampu mewujudkan pertunjukan yang masih membuat betah menonton karena pembaruan foklore yang segar dari perfektif apa yang paling wow saat ini, tiada lain: korupsi dan manipulasi.

Ratu Selvi Agnesia

http://selviagnesia.wordpress.com/2012/10/30/foklore-isu-korupsi-dan-penonton-kelas-menengah/
 
 
 



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer