Foklore, Isu Korupsi Dan Penonton Kelas Menengah

Minggu, 03 Februari 2013

Ekspresi Foklore selalu mengikuti arus zaman. “Indonesia Kita” menggubah legenda Malin Kundang asal Minangkabau menjadi Maling Kondangsetia pada Ibu tapi memanipulasi rakyat. Persis seperti pertunjukan Indonesia Kita dalam tema dua tahun terakhir.

Pertunjukan Indonesia Kita kali ini lebih terasa “lain” setelah merunut program Indonesia Kita yang telah memasuki penyelenggaraan tahun kedua. Isu korupsi selalu menjadi tema besar, dalam setiap penyelenggaraan pertunjukan yang didapuk Trio kakak adik: Butet Kartaredjasa, Agus Noor dan Djaduk Ferianto. Sejauh ini, selain Teater Koma yang juga mempunyai kekerabatan yang lekat dalam komunal kekeluargaan untuk memanajemen pertunjukan dan cenderung sukses dengan tolak ukur riuhnya penonton dan respon sponsor yang besar.
Masyarakat kelas menengah penonton Jakarta–dilihat dari tingkat profesi, pendidikan dan menyukai pertunjukan Indonesia karena kemasan pertunjukan ini memenuhi manajemen yang profesional dengan elemen menyajikan: 

Pertama, penampil yang notabene selebritis untuk menarik massa penonton, dikombain dengan pekerja teater idealis yang cukup mengetahui “kemapanan estetika panggung”. Antara rasa entertain dan pakem-pakem panggung cukup melebur.

Kedua: Isu kekinian yang sedang up-to-date, terutama menyoal political nationality yang sedang menjadi obrolan hangat dan menjadi headline di media. Selain itu, di Jakarta, beberapa seniman dan acara, menjadi besar karena “penggorengan media”. Ada yang memang layak karena menampilkan gagasan baru dan menarik.

Ketiga: Indonesia Kita perlu diakui memiliki tim produksi yang mampu menarik sponsor besar. Bersedia untuk membiayai, baik dari perusahaan swasta maupun birokrasi pemerintah.

Keempat, Indonesia kita cukup mampu mengkombain tradisi-foklore, legenda,mitos dan tokoh fiksi yang dikenal pada sebagian besar masyarakat seperti Kabayan dikemas dengan bentuk modern. Baik yang berbentuk broadway pada Putri Embun dan Pangeran Bintang dari Kelompok Teater Garasi, maupun pertunjukan yang baru-baru saja dipertunjukan “Maling Kondang” sutradara Yusril yang dikenal sebagai sutradara Komunitas Seni-Hitam Putih dari Padang Panjang, Sumatera Barat.Penonton

Kelas Menengah

Hampir seluruh pertunjukan dalam Karya hasil Indonesia Kita memang menjadi daya tarik yang ditunggu penonton kelas menengah Jakarta. Diantara mobilitas sehari-hari di Jakarta yang membuat manusia menjadi mekanis dengan pekerjaan dan kesibukan. Masyarakat Jakarta membutuhkan panggung yang menghibur. Sesuai dengan tagline “Memandang Indonesia Secara Jenaka”. Indonesia Kita menampilkan sisi elegan yang kocak dengan bumbu tradisi berbalut nasionalisme.

Empat parameter untuk menakar pertunjukan-pertunjukan Indonesia Kita di atas, memang tak sepenuhnya relevan. Teater sebagai seni pertunjukan dipandang sebagai unsur yang kompleks dan berubah sesuai dengan ruang dan waktu, termasuk pada kalangan penonton. Pengamat seni pertunjukan, Seno Joko Suyono, dalam tulisannya tentang “Bedaya Silikon” mengungkapkan, meriahnya respon penonton bukan parameter untuk menakar kualitas pertunjukan malam itu. Sebab sering penonton GBB (Graha Bhakti Budaya) lebih bereaksi spontan terhadap hal-hal komunikatif yang langsung bisa tertangkap. Tepuk tangan tidak menjadi idealisisasi untuk menakar kualitas petunjukan.Di perkotaan, khususnya Jakarta, menururt Sri, penonton akan berdoyong-doyong menonton jika ada strategi khusus yang dilakukan kelompok atau lembaga teater tersebut dari reputasi aktor dan teaternya yang dikenal berkualitas.  Pertunjukan “Maling Kondang” menampilkan Nirina Zubir, Oppie Andaresta, politikus Effendi Gozali dan beberapa sosok entertain yang cukup dikenal publik. Hari pertama dan kedua petunjukan, cukup memenuhi Graha Bhakti Budaya yang memiliki kapasitas penonton ratusan. Indonesia Kita memiliki manajemen strategi panggung yang nyaris ideal untuk menarik kebutuhan menonton Teater.

Transformasi Foklore Ke Panggung Modern

Malin Kundang termasuk pada Foklore jenis legenda setempat yang turun antar generasi dan dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Minangkabau yang menarik garis matrineal dari pihak Ibu mungkin cukup berpotensi besar untuk mengingatkan generasi muda selankutnya dalam sikap dan budi pekerti pada Ibu.

Tim kreatif Indonesia Kita mengambil esensinya, jika seorang pemimpin punya kesalahan, sebagai orang yang berkuasa, maka kesalahan orang yang berkuasa ini akan mencelakakan semuanya. Inilah yang relevan di negeri ini, kisah malin kundang berkembang, dihubungkan dengan situasi saat ini.

Sebagai pertunjukan tragedi satir dengan berusaha mengungkapkan bagaimana bila di situasi2, konteks seperti sekarang dilakukan oleh orang-orang yang besar-pengusaha besar, partai besar. Maling Kondang memberikan kesan, bila yang kita teladani (pemimpin) justru yang membawa masalah.

Masyarakat Minang memiliki tradisi yang kuat tercermin pada kesenian randai, selain tari piring yang juga tampil di Maling Kondang. Dalam randai ada 4 unsur yang tidak boleh hilang: pertama gurindam, kedua legaran atau gerak/koreografi, ketiga pantun dan keempat dendang.

Sesuai dengan ciri khas orang Minang dalam berpantun, patatah-patitih, teka-teki dan berdendang lagu tradisi. Pertunjukan malam itu cukup memberikan ingatan dan humor yang segar setelah penonton meninggalkan kursi.

Indonesia Kita dan Maling Kondang memplesetkan sebuah legenda yang bertolak dari kesadaran anggapan lama. Jahitan adegan dan proses yang sebentar mampu mewujudkan pertunjukan yang masih membuat betah menonton karena pembaruan foklore yang segar dari perfektif apa yang paling wow saat ini, tiada lain: korupsi dan manipulasi.

Ratu Selvi Agnesia

http://selviagnesia.wordpress.com/2012/10/30/foklore-isu-korupsi-dan-penonton-kelas-menengah/
 
 
 



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

Posting Komentar