35 TAHUN BUMI DAN IN MEMORIAM WISRAN HADI
dua kelompok teater yang menasbihkan dirinya sangat dekat dengan sosok almarhum teaterawan Wisran Hadi, menyuguhkan pementasan teater dalam helat 35 Tahun Bumi. Masing-masing mengusung bentuk garapan yang berbeda.
Gaung Eskpose Padang mengangkat naskah—yang tak jelas maksudnya, mengapa bukan karya Wisran Hadi—Gubernur Nyentrik dipentaskan prosenium. Kelompok seni Hitam Putih membawakan karya Wisran Hadi, Orang-orang Bawah Tanah yang ditampilkan di luar pentas atau di lapangan terbuka.
Kedua orang yang menyutradarai pertunjukan teater itu: Armeynd Sufhasril dan Yusril, bukan anak kemarin sore dalam jagat teater Sumatera Barat. Keduanya—kendati beda usia— sudah bertungkus lumus bersama Bumi Teater, tapi, sayang sekali, kedua garapan yang disuguhkan seperti menjauh dari apa yang pernah dihasilkan Bumi Teater selama ini. Dua pementasan yang menjadi antiklimaks. Menurun dari dari berbabagai aspek.
Tiga puluh lima tahun silam, sekitar Januari 1976, saat proses latihan teater berjudul Gaung dengan naskah dan sutradara Wisran Hadi, semacam manifes dinyatakan untuk penanda kehadiran Bumi Teater.
“...Teater kami adalah teater yang berpijak dan tumbuh di bumi. Tidak ada alasan sedikit pun buat kami mencari bumi yang lain untuk kami bertolak. Pertanggungan jawab dari corak dan gaya penyampaian serta sikap, adalah pada Allah SWT. Karena kami percaya bahwa bumi tempat kami berpijak adalah bumi yang dititipkan Allah SWT pada kami.”
Manifes ini bukan sekadar kalimat basa-basi pelengkap kehadiran Bumi Teater. Manifes ini merupakan gejolak keprihatinan atas gelombang ‘kematian’ kesenian Sumatera Barat, khususnya teater pada saat itu. Di mana Sumatera Barat tidak tampak dalam peta perteateran di Indonesia. Di mana ruang, seperti Taman Ismail Marzuki (TIM), ruang kebanggaan kesenian yang di bangun di pusat negeri ini (Jakarta) seolah tak terjangkau oleh penggiat teater Sumatera Barat. Tak terjangkau, atau bisa jadi pada saat itu, tak ada kemampuan untuk menjangkau.
Sejak manifes itu, Bumi Teater, Sastra, dan Seni Rupa dengan ujung tombaknya Wisran Hadi berusaha masuk dalam ruang-ruang yang belum terjangkau. Wisran Hadi, secara personal atau atas nama Bumi telah menjadi catatan penting dalam konstelasi perteateran Indonesia.
Setidaknya, sudah sekitar 50 pementasan teater yang dihadirkan, dari pementasan pertama (Gaung, 1976) sampai pementasan paling akhir (Wayang Padang, 2006). Puluhan naskah karya Wisran Hadi pun menjadi tolok ukur, menjadi perbincangan berbagai pihak, atas muatan-muatan yang dikandungnya. Naskah yang sebagian besar menjadi jawara di ajang-ajang perlombaan naskah bergengsi di Indonesia.
Tapi sejak meninggalnya Wisran Hadi be-berapa bulan silam, sejak Bumi Teater kali terakhir mementaskan pertunjukannya, apakah manifes atau spirit teater moderen yang dihadirkan Wisran Hadi diserap oleh para teaterawan atau kelompok teater di Sumatera Barat sebagai suatu kebaruan yang patut terus dieksplorasi?
Dan pembukaan peringatan 35 Tahun Bumi dan In Memoriam Wisran Hadi di Taman Budaya Sumatera Barat adalah pembuktian. Dari tanggal 9-11 November, tiga kegiatan digelar, yakni pementasan teater oleh grup Gaung Ekspose berjudul Gubernur Nyentrik (karya Agustan T Syam) sutradara Armeynd Sufhasril, Temu Anak Bumi Teater dengan pembacaan obituari Wisran Hadi oleh Darman Moenir, serta pementasan teater berjudul Orang-orang Bawah Tanah (karya Wisran Hadi) oleh kelompok seni Hitam Putih dengan sutradara Yusril. Tiga tajuk acara yang bisa jadi adalah penggambaran dari spirit 35 tahun Bumi, penggambaran sejauh mana manifes yang dipatrikan puluhan tahun silam itu diterima dan dieksplorasi terus menerus oleh para teaterawan di Sumatera Barat.
Tiga tajuk acara yang diisi oleh orang-orang yang pernah berproses panjang di Bumi Teater atau berdekatan secara emosional dengan Wisran Hadi. Tiga tajuk acara membuka sembilan pertunjukan lain, akan beruturut-turut dalam sepekan, pertunjukan yang akan membuka celah-celah wacana dalam naskah yang pernah dibuat Wisran Hadi.
Gaung Berusaha “Nyentrik”
Kelompok Teater Gaung Ekspose, mempertunjukkan “Gubernur Nyentrik” di Teater Utama Sumatera Barat (9/11) malam. Dengan naskah yang ditulis Agustan T Syam tersebut Armeynd Sufhasril berusaha menghadirkan (ulang) persoalan ‘korupsi’ yang sudah sering dibahas dalam berita televisi. Beberapa pemain di dalam pertunjukan tersebut, sebagian besar sudah pemain lama, sudah pernah ikut berproses di Bumi Teater. Akan tetapi pertunjukan malam itu terasa tidak memberikan kontribusi penting dalam penanda angka ’35 tahun’.
Secara menyeluruh pementasan tersebut berusaha memparodikan kegiatan harian seorang gubernur dengan istri, ajudan, dan orang-orang yang berdekatan dengan lingkarannya. Parodi yang hampir sama pembawaannya dengan cara grup “Teater Keliling” Rudolf Puspa mementaskan. Entah mana yang menyalin?
Sepanjang permainan terkadang tampak totalitas proses berteater dihancurkan secara tiba-tiba, entah kenapa, meski di beberapa sisi ada ‘aktor’, ada ‘properti’ ada keinginan untuk membangun totalitas tersebut.
“Apakah ini pertunjukan teater atau show musik dengan tema lagu-lagu Iwan Fals dan Slank sebagai penguat bahwa malam ini ada gugatan atas pemerintahan korup?”
Penonton yang terbiasa menonton pertunjukan teater ‘pintar’ tentu akan mempertanyakan hal tersebut. Tapi tentu mereka yang senang dengan kelucuan banal seperti tayangan di televisi akan bertepuk tangan dan girang.
Bisa jadi kegagalan ini disebabkan Gaung Ekspose memainkan naskah yang tidak pas dengan karakter mereka yang selama ini mereka tunjukkan? Pertanyaan yang akan dijawab bersama. Pertanyaan yang pastinya akan dikembalikan pada spirit angka ‘35’ tersebut—meski Gaung Ekspose bukan Bumi Teater, tapi sebagian pemainnya pernah berproses dengan Wisran Hadi, angka ’35’ tersebut merupakan beban moral yang mesti ditanggung.
Kembali pada Pijakan
Istilah ‘kembali pada pijakan’ akan jadi perwakilan bagi pertunjukan komunitas seni Hitam Putih dari Padang Panjang yang mementaskan Orang-orang Bawah Tanah, Jumat (11/11) malam. Yusril, selaku sutradara pementasan tersebut berusaha masuk pada celah yang diberi dalam naskah Wsiran Hadi tersebut. Meski pada akhirnya garapan Yusril tersebut akan keluar, dari konteks, dan gugatan-gugatan filosofis yang ditututkan Wisran Hadi dalam naskah.
Agak lain memang, meski bukan baru, pementasan Orang-orang Bawah Tanah dikembalikan lagi pada sesuatu yang ‘asal’ dalam pertunjukan tradisional Minangkabau. Pertunjukan ini oleh sutradaranya dibawa pada situasi yang lebih nyata, dimana interaksi pemain lebih utuh dengan penontonnya, seperti ‘randai’ yang bukan randai.
Orang-orang Bawah Tanah seperti dua dunia yang dibangun atas wacana besar Minangkabau, wacana yang dirasuki berbagai kepentingan pribadi atau kelompok, termasuk politik dan cinta. Pertunjukan ini seolah menjadi tantangan bagi pertunjukan teater yang lazim dipertontonkan dalam ruangan, tantangan bagi sutradara, aktor, juru lampu, dan juga penonton.
Tempat pertunjukan Orang-orang Bawah Tanah dihadirkan pada tanah yang sedikit lapang antara mess dan galeri lukisan Taman Budaya Sumatera Barat, yang dulunya merupakan Gedung Teater Tertutup. Tempat ini pun diubah menjadi (nagari) ‘Koto Tingga’, tempat para pelarian politik yang ingin mempertahankan kebudayaan lama tapi pada akhirnya malah menghancurkan kebudayaan itu.
Setumpak tanah keterwakilan dari pandam pakuburan di bagian belakang panggung pertunjukan. Trap yang membelah ruang seakan garis imajiner, batas antara dunia ‘atas’ dan dunia ‘bawah’. Dua menara bambu dengan orang-orangan sawah dan bendera hitam berkibar di atasnya, serta para pemain yang memakain baju-baju adat seolah memberi ruang bagi penonton untuk menafsir banyak hal.
Orang-orang Bawah Tanah semacam sandiwara gelak-tawa kebudayaan antara tokoh Malin, Pakih, Ustad, Puti Serong, dan Siti Canon. Sandiwara yang mengikutsertakan pemain dari awal sampai akhir pertunjukan.
Pandam pekuburan Bundo Kanduang menjadi kekuatan yang dibangun, dihancurkan, dan dibangun lagi dalam pementasan ini.
Bagaimana tidak, kuburan Bundo Kanduang dimanifestasikan sebagai kebohongan publik yang dibagun oleh orang-orang yang secara kasar mata mempertahankan kebudayaan, tapi di lain sisi mereka ingin menjual kebudayaan tersebut.
Pada pementasan ini Yusril mencoba melakukan proses menafsir lagi estetika lama sembari mencoba mencari bentuk baru dalam melakukan eksplorasi pada ‘tanah’ dimana teater itu di mainkan. Orang-orang Bawah Tanah dijadikan tontonan teater alternatif. “Pementasan ini digarap agar penonton sadar ini sebuah permainan yang juga bukan sekadar permainan,” kata Yusril.
Isu tentang pariwisata dan budaya yang dihadirkan dalam pementasan, sebagaimana para aktor selalu terlihat ingin mendapatkan materi dari kebongan publik yang dibentuknya, sesuatu yang kini intim dengan kita.
“Budaya untuk kepentingan ekonomi, sementara kebudayaan tidak bisa dilihat begitu. Jadi ada sebagian orang yang memperalat kebudayaan untuk kepentingan ekonomi. Saya tidak menyangkal kehadiran Bundo Kanduang dalam pementasan, tapi yang saya tolak kuburan Bundo Kanduang itu,” tafsir Yusril terhadap pertengkaran antara dua tokoh yang bernama Siti Canon dan Puti Serong yang mengaku keturunan sah Bundo Kanduang dan pewaris kuburannya.
Orang-orang Bawah Tanah bisa jadi berhasil mempertunjukkan naskah Wisran Hadi tersebut melalui interaksi berlanjut dari awal sampai akhir dengan penonton. Ratusan penonton malam itu pun sibuk dalam wacana yang dibangun, sesekali ‘kecewa’ dengan pembohongan publik, dan berbahagia atas pembongakaran isu dalam pementasan.
Penonton malam itu jadi aktor sekaligus, jadi pembuat wacana sekaligus. Meski dalam tafsir yang tidak utuh, pementasan ini jadi perwakilan dari spirit 35 tahun Bumi Teater, spirit 35 tahun manifes semangat berteater yang pernah dibunyikan itu
Tantangan baru, pencarian dan penemuan jawaban, seperti kata Darman Moenir dalam obituari tentang Wisran Hadi, Kamis malam (10/11) mungkin usaha yang harus disiasati berlanjut. “Membaca naskah, menonton pertunjukan Wisran Hadi.... kritik-kritik sosial disampaikan dalam cemooh, gurau, plesetan. Wisran Hadi benar-benar sadar akan kekuatan kata. Dan itu disiasati dengan bacaan, dari permainan tradisi, dari kehidupan masyarakat menengah kebawah, dari perilaku pemangku adat dan pejabat...” sebut Darman.
Dan ini tentu sesuatu yang berharga bagi konstelasi perteateran di Sumatera Barat. Tidak hanya bagi Gaung Ekspose dengan pertunjukan Gubernur Nyentrik yang bisa dibilang ‘gagal’ dalam menunjukkan totalitasnya, atau komunitas Hitam Putih dalam pementasan Orang-orang Bawah Tanah yang berhasil menyiasati celah bagi penontonnya untuk ikut hibuk dalam sandiawara yang ditulis Wisran Hadi itu.
Spirit 35 tahun dan semangat manifes Wisran Hadi bukan hanya milik anak Bumi, bukan cuma milik orang-orang yang pernah berproses di sana, tapi telah jadi milik perteateran Sumatera Barat, Indonesia. Jeda waktu yang panjang memang untuk membuat kebaruan bagi sebagian kelompok teater di Sumatera Barat yang kini layaknya ‘katak dalam tempurung’ dan tidak menghargai proses sebagai bagian dari pencarian berteater itu sendiri. n
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar